PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Ushul fikih merupakan dalil-dalil syara' secara garis besar yang di dalamnya terkandung hukum-hukum secara garis besar pula. Dalam bahasa non-Arab, ushul fikih ini sering diterjemahkan dengan teori hukum (legal theory), karena memang di dalamnya berisi tentang teori-teori dalam memahami hukum syariah. Dalam pembahasan ushul fikih ini banyak mempergunakan pendekatan filosofis, misalnya tentang hakekat hukum syariah, sumber-sumber hukum, tujuan hukum, logika teks hukum, posisi manusia dalam hukum, dan sebagainya., sehingga ushul fikih ini merupakan bagian terbesar dari filsafat hukum Islam (syariah). Namun demikian, ushul fikih ini tidak sama dengan filsafat hukum syariah, karena filsafat hukum ini di samping mencakup ushul fikih, juga mencakup hikmah legislasi (hikmah al-tasyri') atau rahasia di balik penetapan hukum-hukum syariah.
Perbedaan antara ilmu fikih dan ilmu ushul fikih adalah; kalau ilmu fikih membicarakan tentang dalil dan hukum yang bersifat rinci (juz'î), maka ilmu ushul fikih membicarakan tentang dalil atau ketentuan yang bersifat garis besar (kullî) yang berfungsi sebagai metodologi dalam memahami dalil-dalil rinci itu. Dalil kullî ini misalnya tentang amr (kata yang berbentuk perintah), nahy (kata yang berbentuk larangan), 'âmm (kata yang menunjukkan arti umum), khâshsh (kata yang menunjukkan arti khusus), dsb.
Demikian pula, kalau tujuan mempelajari ilmu fikih adalah mempraktikkan hukum-hukum syariah pada perbuatan dan ucapan manusia, maka tujuan mempelajari ilmu ushul fikih adalah mempraktikkan kaidah-kaidah dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil rinci untuk mengungkapkan hukum-hukum syariah yang terdapat dalam dalil-dalil itu. Sebagai contoh, seorang ahli ushul fikih membahas tentang hukum wajib yang terkandung dalam suatu kata perintah (amr), sedangkan ahli fikih membahas tentang kewajiban shalat, yang didasarkan pada dalil "âqîmû al-shâlâh" (dirikanlah shalat). Dalam hal ini, Syaikh Tusi menjelaskan bahwa Ushul Fikih adalah bukti-bukti tentang fikih. Namun demikian, ushul fikih tidak hanya diperlukan dalam memahami teks-teks yang terdapat dalam al-Quran maupun hadis, tetapi juga untuk menetapkan hukum terhadap hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam teks keduanya. Dengan demikian, seorang mujtahid tidak mungkin dapat memahami dan mendalami hukum-hukum syariah (Islam) dengan tepat tanpa memahami ushul fikih ini.
Berdasarkan permasalahan di atas maka kami akan membahas mengenai perkembangan ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqih
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah pada maklah ini adalah sebagai berikut:
Apa yang dimaksud dengan ilmu Ushul Fiqh?
- Bagaimana perkembangan ilmu Ushul Fiqh?
- Bagaimana pula perkembangan ilmu Ushul fiqh Versi Ahlu sunnah wa al-Jama’ah?
- Bagaimana perkembangan ilmu Fiqih?
PEMBAHASAN
A. Pengertian ilmu ushul fiqh
Ilmu ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan sebagai metodologi untuk memahami atau memperoleh hukum-hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang rinci. Dengan kata lain Ushul fikih adalah ilmu yang membahas unsur-unsur umum dalam prosedur mendeduksikan hukum-hukum Islam. Proses deduksi ini sangat luas sedemikian sehingga mencakup setiap kejadian dan peristiwa dalam kehidupan manusia.
B. Perkembangan ilmu ushul fiqh
Memang pada masa Rasulullah saw dan pada masa sahabat praktik ijtihad telah dilakukan, hanya saja pada waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fikih. Karena pada saat itu ada Rasulullah saw yang mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik secara langsung atau tidak langsung. Sehingga para sahabat tidak membutuhkan adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad. Demikian pula para sahabat mengetahui sebab-sebab turun (asbabun nuzul) ayat-ayat al-Quran, sebab-sebab datang (asbabul wurud) al-Hadis, mempunyai ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum, mereka juga mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa al-Quran dan as-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya kaidah-kaidah.
Pada masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya. Banyak di antara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih bersemarak. Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah. Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syariah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut. Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fikih.
Orang yang pertama kali merumuskan dan membukukan ilmu ushul fikih ini adalah Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (150-204 H atau 767-820 M) dengan kitabnya berjudul al-Risâlah. Sebenarnya metodologi untuk memahami hukum Islam itu sudah ada sebelum al-Syafi'i; hanya saja pada waktu itu metodologi ini belum dirumuskan dan belum pula dibukukan secara sistematis, sehingga al-Syafi'i dikenal sebagai penyusun pertama ilmu ushul fikih.
Sedangkan, menurut Murtadha Muthahari, di kalangan ulama Syiah tokoh yang pertama menyusun kitab-kitab Ushul ialah Sayyid Murtadha ‘Alam Ul-Huda. Sejumlah kitab Ushul disusun oleh Sayyid Murtadha, yang paling masyhur di antaranya adalah Thariyah (Perantara).Sayyid Murtadha hidup selama akhir abad keempat dan awal abad kelima Hijriah. Beliau wafat pada 436 H. Setelah Sayyid Murtadha dalam tradisi Syiah, sosok figur terkenal dan penting dalam studi Ushul ialah Syaikh Tusi yang wafat pada 460 H. Tokoh selanjutnya dalam tradisi Syiah, dalam studi Ushul ialah Wahid Bahbahani (1118-1208 H) dan Syaikh Murtadha Anshari (1214-1281 H). Berikutnya adalah murid dari Syaikh Anshari yakni Mullah Khorasani.
Dalam tradisi Ahlusunnah, munculnya ilmu ushul fikih ini tidak terlepas dari kondisi pada waktu itu, di mana di satu pihak terdapat aliran ahl al-hadis yang lebih menekankan arti harfiah dalam memahami hukum; dan di lain pihak terdapat aliran ahl al-ra'y yang memahami hukum dengan banyak menggunakan rasio dan bahkan sering meninggalkan Hadis. Sayangnya, masing-masing dari kedua aliran ini tidak memiliki metodologi yang sistematis dan konsisten, sehingga menimbulkan semakin beranekanya dan meruncingnya perbedaan pendapat, yang di antaranya bahkan mengarah kepada pemahaman menurut keinginannya sendiri, terutama di kalangan aliran ahl al-ra'y. Al-Syafi'i terpanggil untuk menertibkan perbedaan pemahaman tersebut dengan memperkenalkan sebuah metodologi yang sistematis dan konsisten serta menempatkan kedua aliran itu secara proporsional. Hal ini bisa dilakukan, karena didukung juga oleh latar belakang al-Syafi'i yang pernah belajar dengan guru yang beraliran ahl al-hadis (Malik ibn Anas) dan yang beraliran ahl al-ra'y (al-Syaibani).
Dengan upaya ini, ia kemudian dikenal sebagai orang yang telah memadukan kedua aliran ini. Di satu sisi ia telah merumuskan logika hukum di balik teks-teks al-Quran dan Hadis; dan di sisi lain ia juga telah menempatkan posisi Hadis sahih secara proporsional, yakni sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran, walaupun tidak didukung oleh praktik penduduk Madinah, sebagaimana disyaratkan oleh Malik ibn Anas. Setelah wafatnya al-Syafi'i, kemudian muncul penyusunan ushul fikih yang dikemukakan oleh ulama-ulama pendukung mazhab yang ada, baik yang merupakan penjelasan terhadap karangan al-Syafi'i maupun yang mengambil bentuk sendiri.
Terdapat dua metode dalam penyusunan ushul fikih ini, yakni metode deduktif dan metode induktif. Metode pertama yang juga disebut sebagai metode kaum teolog (mutakallimin) menetapkan teori-teori umum atas dasar logika dengan tanpa memperhatikan apakah ia bertentangan dengan hukum-hukum furu' (hukum fikih pada kasus-kasus tertentu) atau tidak. Sedangkan metode kedua yang juga disebut dengan metode kaum juris (fuqahâ') menetapkan teori-teori umum yang didasarkan pada hukum-hukum furu'.
Di samping dengan metode deduktif dan induktif ini, ada pula metode gabungan antar keduanya, yakni menetapkan teori-teori umum atas dasar logika dan sekaligus memperhatikan hukum-hukum furu'. Masykuri Abdillah, Dosen IAIN Jakarta, mencatat sebagian besar ulama Syafi'iyah dan Malikiyah menulis ushul fikih dengan metode deduktif, seperti kitab Al-Ta'rîf wa al-Irsyâd fî Tartîb Turuq al-Ijtihâd (Pengertian dan Petunjuk tentang Metode Ijtihad) oleh Abu Bakr Muhammad al-Baqilani al-Maliki (w. 403 H), Al-Burhân oleh Abdul Malik ibn Abi Muhammad al-Juwaini al-Syafi'i (478 H), Al-Mustashfâ oleh Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi'i (w. 505 H), dan Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (Kesempurnaan tentang Dasar-Dasar Hukum) oleh Abu Hasan al-Amidi al-Syafi'i (w. 631 H).
Sedangkan sebagian besar ulama Hanafiyah menulis ushul fikih dengan metode induktif, seperti kitab: Ma'âkhidz al-Syarâ'i' (Sumber-Sumber Hukum Syariah) oleh Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H), Risâlah al-Karkhî fî al-Ushûl oleh Abu al-Hasan Ubaidillah ibn al-Hasan al-Karkhi (w. 340 H), Ushûl al-Jashâsh oleh Abu Bakr Ahmad ibn Ali al-Razi al-Jashâsh (w. 370 H). Sedangkan kitab ushul fikih yang mempergunakan metode gabungan antara lain adalah kitab Badî' al-Nizhâm al-Jâmi' bayn Ushûl al-Bazdawî wa al-Ihkâm (Keindahan Metode Gabungan antara Ushul-nya al-Bazdawi dengan al-Ihkam-nya al-Amidi) oleh Muzhaffar al-Din Ahamd ibn Ali al-Ba'labaki al-Hanafi (w. 694 H) dan Jam' al-Jawâmi' oleh Tajuddin Abdul Wahhab Ibn al-Subki al-Syafi'i (w. 771 H).
Itulah perkembangan singkat Ilmu Ushul Fikih pada awal-awal pembentukkannya. Tradisi ijtihad yang merupakan metode Islam dalam menjawab tantangan zaman terus berjalan. Dan salah satu ilmu yang paling penting dalam tradisi ijtihad ini adalah ilmu Ushul Fikih.
C. Perkembangan ilmu ushul fiqh Versi Ahlu sunnah wa al-Jama’ah
Ilmu ushul fikih menurut ahlu sunnah wal jama’ah sebagaimana bidang keilmuan lainnya mengalami dan melalui beberapa tahapan penting anatara lain sebagai berikut:
a. Marhalah Tadwin (kodefikasi) atau penulisan dasar-dasar ilmu ushul fikih yang dipelopori oleh imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i
b. Marhalah Ittijaah al-Haditsi (ushul fikih dengan metodologi hadits) yang dipelopori imam Al-Khothib al-Baghdadi dan Ibnu Abdilbarr.
c. Marhalah Ishlah dan pelurusan yang tidak benar dalam ilmu ushul fikih yang dipelopori imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim.
Marhalah pertama dimulai pada masa imam asy-Syafi’i dan berakhir kurang lebih sekitar akhir abad ke empat hijriyah. Keistimewaan marhalah ini adalah penulisan kaidah ilmu ushul fikih oleh imam asy-Syafi’i dan keadaan serta kondisi yang berhubungan langsung dengan penulisan ini. Imam asy-Syafi’i hidup dimasa berkembangnya dua madrasah yang setiap dari madrasah ini tegak diatas manhaj yang tidak sama dengan yang lainnya. Dua madrasah ini adalah madrasah hadits yang berada di Madinah dengan tokoh besarnya adalah imam Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahi (w 179 H) dan kedua adalah madrasah ar-Ra’yi yang berada di Irak dengan tokoh besarnya adalah para murid Abu Hanifah. Madrasah hadits dikenal sangat kental dan dekat dengan riwayat, karena
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (w 241 H) berkata: Dahulu fikih itu terkunci pada ahlinya saja hingga Allah bukakan dengan asy-Syafi’i. (lihat Tahdzieb al-Asma’ wa al-Lughaat 1/61) Beliau juga menyatakan: Dahulu peradilan kami berada di tangan para sahabat Abu Hanifah tidak dapat diganggu gugat hingga kami melihat imam asy-Syafi’i. Beliau orang terpakar dalam al-Qur`an dan sunnah Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan ahli hadits tidak akan pernah kenyang dari kitab-kitab asy-Syafi’i. (lihat Muqaddimah kitab ar-Risalah hal. 6). Juga berkata: Kalau bukan imam asy-Syafi’i maka kami tidak mengenal fikih hadits.Imam asy-Syafi’i telah meletakkan pondasi pertama penulisan dan kodefikasi ilmu ushul dan menjelaskan ketentuan ilmu ini serta memperjelas gambarannya.
Imam Syafi’i dalam upaya beliau menyusun ilmu ushul fikih mengikuti jejak langkah orang sebelum beliau dan bersandar kepada al-Qur`an dan sunnah serta siroh para sahabat dan atsar para imam besar. Juga mengambil faedah dari ilmu bahasa Arab dan sejarah manusia, serta penggunaan akal dan qiyas.
Kemudian setelah beliau, bermunculan upaya para ulama ahli sunnah, namun baru berkisar pada permasalahan komitmen dengan Al-Qur`an dan sunnah. Diantaranya adalah:
- Risalah imam Ahmad tentang ketaatan kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
- Kitab Akhbaar Ahaad dan kitab al-I’tishom, keduanya bagian dari shohih al-Bukhori.
- Kitab Ta’wiel Musykil al-Qur`an dan kitab Ta’wiel Mukhtalaf al-Hadits keduanya karya Ibnu Qutaibah.
- Dan kitab lainnya yang dikarang para ulama salaf lainnya.
Pada marhalah ini kodefikasi ilmu usul fikih telah sempurna melalui karya imam asy-Syafi’i kemudian datang para ulama setelah beliau menyempurnakan upaya yang telah beliau mulai khususnya yang berhubungan dengan komitmen kepada Al-Qur`an dan sunnah. Semua upaya ini merupakan benang merah manhaj ahli sunnah dan kaedah umum dalam ushul fikih versi ahlu sunnah. Marhalah ini memiliki pengaruh besar dan penting bagi para ulama setelah mereka.
Marhalah kedua berawal dari awal abad kelima hijriyah hingga sekitar akhir abad ketujuh Hijriyah. Dalam masa ini muncullah dua imam besar, yaitu:
a. Imam ahli sunnah ditimur al-Khothib al-Baghdadi penulis kitab Tarikh Baghdad
b. Imam ahli sunnah di Barat Abu Umar bin Abdilbarr penulis kitab at-Tamhied.
Al-Khothib al-Baghdadi menulis dalam bidang ushul fikih kitab al-Faqieh wa al-Mutafaqqih yang beliau buat sebagai nasehat kepada ahli hadits. Kitab ini termasuk pengembangan dari kitab ar-Risaalah karya imam asy-Syafi’i dengan beberapa penambahan seperti permasalahan jidaal dan pembahasan yang berhubungan dengan adab fikih.
Sedangkan Ibnu Abdilbarr menulis kitab Jaami’ Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi sebagai jawaban bagi orang yang bertanya tentang beberapa pertanyaan yaitu:
1. Pengertian ilmu.
2. Pengokohan hujjah dengan ilmu.
3. Penjelasan salahnya orang yang berbicara dalam agama Allah tanpa pemahaman yang benar.
4. Larangan memvonis tanpa hujjah.
5. Apa yang diperbolehkan dan yang dibenci dalam adu hujjah dan debat.
6..Pemikiran akal mana yang dicela dan mana yang dipuji?
Muncul dalam marhalah ini juga dua kitab yaitu:
Kitab Taqwiem al-Adilah karya Abu Zaid ad-Dabuusy. Ibnu Kholdun mengomentari kitab ini dengan menyatakan: Adapun metodologi versi madzhab Abu Hanifah, maka para ulamanya telah menulis banyak sekali karya tulis dan yang terbaik untuk mutaqaddimin adalah karya Abu Zaid ad-Dabuusi. (Muqadimah Ibnu Kholdun hal. 361)
Kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali. Kitab ini diringkas oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Raudhah an-Naazhir Wa Jannat al-Manaazhir
Marhalah ini memiliki karakteristik banyaknya materi ushul yang dibangun dari hadits nabi dan atsar shohih dari sahabat dan tabi’in dan masuknya metodologi hadits yang dapat dilihat dari penyampaian riwayat dengan sanadnya. Metodologi ini tidak hanya sebatas pada riwayat dan penyampaian hadits namun juga padanya istimbath, fikih, penetapan qiyas dan ijtihad serta lainnya.
Marhalah ini merupakan pengembangan dari marhalah sebelumnya yang diwakili dengan kitab ar-Risaalah. Ibnu Abdilbarr dan al-Khothib al-Baghdadi serta Abu Manshur as-Sam’aani sendiri mengambil faedah dari peninggakan asy-Syafi’i. Sedangkan kitab Raudhah an-Naazhir memberikan gambaran baru yang nampak sekali pengaruh manhaj mutakallim (ahli kalam) dengan tetap menjaga konsep dasar manhaj salaf padanya secara umum.
Marhalah ketiga yang dimulai pada awal abad kedelapan sampai sekitar akhir abad kesepuluh hijriyah. Muncul dalam marhalah ini dua imam yaitu:
a. Ibnu Taimiyah
b. Ibnu al-Qayyim
Marhalah ini memiliki karekteristik yang dibangun diatas dua pokok :
- Penjelasan dan penampakan kaedah-kaedah ushul sesuai manhaj salaf
- Pengarahan kritik dan pelurusan kesalahan yang ada pada mutakallimin (ahli kalam) dalam kaedah-kaedah ushul.
Hal ini selesai melalui imam Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Keduanya membangun upaya besar tersebut diatas kekayaan ilmiyah yang ditinggalkan imam asy-Syafi’i dan ulama yang sejalan dengan beliau. Pada marhalah ini muncul juga karya-karya ilmiyah para ulama madzhab Hambali seperti Ibnu al-Lahaam, al-Mirdaawi, dan al-Fatuhi. Namun nampaknya semua adalah pengembangan dari kitab Ibnu Qudamah yang masih nampak pengaruh manhaj mutakallimnya. Walaupun mereka tentunya menerima dan mengambil faedah dari karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim sehingga nampak sekali dengan jelas terpengaruhnya kitab-kitab ini dengan ketetapan kedua imam tersebut.
Inilah marhalah-marhalah yang dilewati ahlu sunnah dalam perjalanan pembentukan ilmu ushul fikih. Kemudian muncul juga beberpa karya tulis dari sebagian ulama ahli sunnah namun semuanya kembali kepada keterangan yang sudah dibuat dalam marhalah-marhalah diatas. Diantara karya ilmiyah tersebut adalah:
1. المدخل إلى مذهب الإمام أحمد بن حنبل karya syeikh Abdulqadir bin Badraan ad-Dumi ad-Dimasyqi (wafat tahun 1346 H)
2. ”نزهة الخاطر العاطر” شرح كتاب “روضة الناظر وجنة المناظر”، karya beliau juga.
3. ”رسالة لطيفة في أصول الفقه” karya Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat tahun 1376 H)
4. ”وسيلة الحصول إلى مهمات الأصول” karya Haafizh bin Ahmad al-Hakami wafat tahun 1377 H
5. ”مذكرة أصول الفقه على روضة الناظر” karya Muhammad al-Amien asy-Syinqithi (wafat tahun 1393 H). dan lain-lainnya.
Semoga bermanfaat.
Penulis: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.
Diringkas dari: Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah
D.. Sejarah Perkembangan ilmu Fiqh dari masa ke masa
Sejarah perkembangan ilmu Fiqh terbagi menjadi beberapa periodesisaasi anatar lain sebagai berikut:
Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW. Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu’awiyah bin Abu Sufyanmemegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagaietnis dengan budaya masing-masing. Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqahaberbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu
masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalanpersoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur’an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dankondisi masyarakat daerah tersebut. Di irak, Ibnu Mas’ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di
Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya. Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar.
Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya’ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta. Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini. Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut. Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara’, tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su ’ud (qadi